Seperti Pohon Pisang yang tak kan mau MATI, sebelum menghasilkan Buah yang bisa dirasa oleh semua......bagaimana dengan kita?

Senin, 10 Mei 2010

Ketika lelah pulang kerja, bagaimana sikap kita kepada anak yang “Manja”?

“Kook ayah cemburu gitu sih?!”, Tanya sang anak yang paling besar. Aku agak terkejut juga, tapi istriku meluruskan pertanyaan anakku itu, mungkin karena melihat mimik wajahku yang seperti tidak ada semangat hidup. “Naaak, maksudnya cemberut yah?” “oh iya cemberut aja, kenapa yah?” disela curat marutnya wajahku, aku sempat tersenyum juga, tapi hanya sejenak dan sejenak saja tanpa dilihat oleh anakku.

Dalam perjalanan menuju kerumah,

setelah mengantar istri belanja beramai ramai sempat terngiang dikepala tentang tulisan yang dibuat seseorang tentang kehidupan harian seorang ulama yang sederhana tetapi namanya mengharum hingga kini.

Ketika beliau pulang dari bepergian baik itu mengajar, berdakwah dari tempat yang jauh atau kegiatan lainnya yang tentu amat lelah, tetapi beliau tidak pernah menampakkan kelelahan tersebut dimata anak anaknya. Rasa lelah itu seperti sirna dan tidak ada jejaknya sedikitpun atas kejadian pagi hingga sore atau malam itu. Selalu menyenangkan dipandang mata anak anaknya.

Kenapa beliau selalu berusaha seperti itu? Apakah malah tidak menambah lelah ulama tersebut? Karena sang anak akan meminta sesuatu atau harus ada yang dikerjakan oleh ulama tersebut untuk memenuhi keinginan anak. Padahal kalau kita bilang, ayah lelah baru pulang, tolong jangan diganggu!, itu mungkin akan sedikit mengurangi rasa lelah setelah seharian dliluar.

Kalau kita tengok kebelakang, rasanya memang tidak adil jika sikap kita mementingkan diri sendiri. Memang kita lelah setelah bekerja seharian, apalagi jika ada masalah ditempat kerja. Permasalahannya adalah bagaimana jika ketika kita pulang dan anak anak kita begitu acuh dengan kita, begitu tak peduli, karena anak kita ditegur untuk tidak mengganggu, mungkin sebulan kita bisa bertahan, tapi akhirnya kita akan merasakan sesuatu yang hilang, Sesuatu yang begitu tak mempedulikan kita, sesuatu yang begitu menyenangkan sebenarnya jika kita pulang ada yang tersenyum manis dan menyapa kita. Bagaimana rasanya jika kita diacuhkan oleh mereka ?

“kami sangat mencintai ayah,sangat cinta, kami mentaati keinginannya karena kami cinta kepadanya, bukan karena kami takut kepadanya. Sampai jika ayah pergi, kami semua sangat merasa kehilangan…” itulah ungkapan anak dari ulama besar tersebut yang berusia lima tahun ketika ulama tersebut wafat.

Inilah beberapa kebiasan sang ulama yang sangat berkesan kepada anak anaknya :
1. makan bersama jadi keutamaan
walaupun sangat sibuk beliau tetap berusaha untuk makan bersama keluarga, beliau sangat mengerti apa yang dikatakan oleh Rasulullah “sesungguhnya badanmu mempunya hak, keluargamu juga punya hak…”

2. tidak ada suara keras dirumah kami,
kami tidak pernah melihatnya seperti kebanyakan orang yang kerap berteriak atau bersuara keras didalam rumah. Akibat lelah seharian bekerja, sesibuk apapun ayah diluar tidak pernah dibawa kerumah. Dirumah ayah selalu ceria dan tidak pernah menunjukkan kelelahannya.
3. sangat lembut terhadap anak anaknya yang menyebabkan kami mencintai dan mentaatinya. Beliau orang yang saat memelihara perasaan anak anaknya dengan sikap yang baik.
4. tidak membeda-bedakan antara anak yang satu dengan yang lain. Beliau tidak membedakan sikap terhadap anak laki maupun perempuannya. Bahkan dalam pemberian hukuman tidak ada perbedaan.
5. ayah memberi kami hukuman. Jika kami bersalah tentu anak beliau berujar bahwa mereka tetap mendapat hukuman sebagaimana metode punishment an dreward. Ketika anaknya keluar tanpa memakai sandal padahal sudah disiapkan ayah berkata “duduklah dan angkat dua kakimu” ayah lalu memukul dengan penggaris pendek, setiap sebelah kaki sebanyak sepuluh kali, terus terang sang anak ngin tertawa karena pukulannya pelan sekali sampai sampai sang anak tidak merasakan. Ayah hanya ingin membauat anaknya mengerti bahwa mereka telah membuat kesalahan.
Itulah sekelumit kisah Hassan Al-Banna sebagai ayah yang tentu saja beliau melakukan sebgai aplikasi nilai nilai islam yang syamil-mutakamil. Semoga menjadi teladan bagi semua. (petikan dari Buku cinta di Rumah Hassan Al-Banna tulisan mohammad Lili Nur Aulia)



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar